Our Nutrition Our Future

 

“Wah anak kamu kok pinter ya” ucap Bu Sulastri kepada Bu Ratih yang sama-sama memiliki anak berusia dua tahun. Bu Ratih hanya tersenyum bangga mendengar pujian Bu Sulastri. Usut punya usut setelah dua jam lamanya berbincang barulah diketahui jika anak Bu Sulatri mengalami gejala stunting, seperti susah fokus, pertumbuhan gigi lebih lambat, dan yang paling tampak ialah tubuh yang lebih pendek dari usia anak seumurannya. Walaupun, tidak semua perawakan pendek dapat dikatakan sebagai stunting. Perawakan pendek juga dapat disebabkan oleh kondisi patologis atau non patologis[1].


Stunting itu apa sih ?

Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh kembang pada anak baik fisik maupun otak. Stunting seringkali dihubungkan dengan malnutrisi dan infeksi kronis (non-endoktrin) yang menyebabkan rendahnya tinggi/panjang badan berdasarkan usianya [2]. Namun, masyarakat di Indonesia lebih sering menganggap tumbuh pendek sebagai faktor keturunan sehingga permasalahan ini dianggap tidak terlalu penting. Nyatanya, hasil studi menunjukkan jika pengaruh faktor keturunan hanya berkontribusi sebesar 15 persen terhadap tumbuh pendek, sementara sisanya terkait dengan asupan gizi, hormon pertumbuhan, dan penyakit infeksi berulang pada balita[3].

Di Indonesia, stunting masih menjadi permasalahan utama yang terus dicari solusinya. Berdasarkan hasil riset Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021, dari 100 anak setidaknya terdapat 24-25 yang mengalami stunting. Walaupun angka ini sudah turun sebesar 3,3 persen dibandingkan tahun 2019, tetapi ini masih jauh dari target RPJMN 2020-2024 yang menargetkan penurunan stunting hingga 14 persen di tahun 2024[4].

Selain stunting salah satu permasalahan gizi yang menjadi perhatian penting di Indonesia ialah Wasting. Mungkin di beberapa kalangan istilah ini masih cukup asing. Wasting dan Stunting merupakan salah satu masalah yang dialami oleh anak akibat kekurangan gizi. Wasting diartikan sebagai gagal tumbuh kembang pada anak yang dilihat dari berat badan menurut tinggi badan dengan ambang batas z-score -3SD sampai dengan -2SD [5]. Penggunaan data stunted (tinggi menurut usia) dan wasted (berat badan menurut tinggi badan) nantinya digunakan oleh WHO untuk mengevaluasi klasifikasi gizi di suatu wilayah.

Berdasarkan hasil SSGI tahun 2021, provinsi dengan kategori baik, yakni stunted rendah (< 20 persen) dan wasted rendah (< 5 persen) hanya diraih oleh Provinsi Bali. Sedangkan, 5 provinsi berpredikat kategori Akut dengan Stunted rendah (< 20 persen) dan Wasted tinggi (≥ 5 persen) yaitu, pada Provinsi Lampung, Kep. Bangka Belitung, Kep. Riau, DKI Jakarta dan DI Yogyakarta. Sisanya, sebanyak 28 provinsi berpredikat sebagai Akut kronis dengan Stunted tinggi (≥ 20 persen) dan Wasted tinggi (≥ 5 persen).



Grafik. 1 Pravelensi Stuned dan Wasted di Indonesia berdasarkan Provinsi Tahun 2021

Berdasarkan grafik di atas terlihat jika lebih dari 50 persen provinsi di Indonesia masih berkategori akut kronis. Hal ini mengindikasikan jika peran pemerintah dalam menangani permasalahan gizi anak sangat diperlukan terutama pada Kawasan Timur Indonesia. Provinsi yang terletak di Kawasan Timur Indonesia cenderung untuk mengalami stunting dan wasting yang tinggi.

Kalimantan Timur sebagai Provinsi Ibu kota Negara yang juga terletak di kawasan timur Indonesia memperlihatkan angka stunting dan wasting yang masih cukup tinggi. Pada tahun 2019, angka stunting di Kalimantan Timur menjadi salah satu sorotan DPR RI komisi IX. Hal ini disebabkan tingginya angka stunting, yaitu sebesar 27,7 persen yang melampaui standar WHO sebesar 20 persen[6].  Akan tetapi pada tahun 2021 angka stunting ini turun menjadi 22,4 persen. Meskipun angka stunting pada tahun 2021 turun menjadi 22.24 dan berada di bawah rata-rata angka nasional tetapi tidak seluruh kabupaten/kota yang terdapat di dalamnya juga mengalami penurunan.

Grafik. 2 Pravelensi Stuned  di Kalimantan Timur berdasarkan kab/kotTahun 2021


Dari grafik di atas terlihat jika hanya empat kabupaten/kota yang sudah berada dibawah rata-rata provinsi, yaitu sebesar 22.8. Sedangkan tujuh lainnya masih berada di atas rata-rata provinsi maupun nasional. Berdasarkan hasil SSGI 2021, terdapat tiga kabupaten/kota yang belum memberikan kontribusi positif terhadap penurunan prevalensi stunting, yaitu Kutai Timur, Penajam Paser Utara, dan Kutai Kartanegara. Hal ini menunjukkan masih terjadinya gap di antara kabupaten/kota di Kalimantan Timur terkait masalah stunting.

Permasalahan stunting menjadi hal yang cukup krusial karena dampaknya tidak hanya terkait dengan individu yang menderita, tetapi jangka panjangnya juga dapat memengaruhi keadaan masa depan suatu negara. Dampak negatif bagi individu yang mengalami stunting, antara lain terganggunya perkembangan otak, kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik, menghambat metabolisme tubuh, hingga menurunnya kemampuan koginitif [7]. Dampak negatif ini jika tidak dapat diatasi dengan baik maka akan memengaruhi kualitas sumber daya manusia di masa depan.  Hal ini senada dengan hasil penelitian yang memperkirakan, rata-rata PDB per kapita secara global akan lebih rendah 5 hingga 7% sebagai akibat dari pertumbuhan yang terhampat di masa anak-anak [8].


Penyebabnya apa aja sih?

Stunting dan wasting disebabkan oleh berbagai hal salah satunya asupan nutrisi yang diperoleh anak. Dalam berbagai studi disebutkan jika 1000 hari kehidupan anak menjadi salah satu faktor yang menentukan perkembangan anak.  Durasi ini dibagi menjadi 270 hari pada masa kehamilan dan 730 hari pada masa kehidupan anak. 

Dua tahun utama kehidupan anak merupakan salah satu periode kritis, pada masa ini anak harus diberi sumber nutrisi yang cukup. Fase ini dibagi menjadi tiga bagian, pada mulanya semenjak anak lahir pemberian ASI harus tercukupi hingga usia 6 bulan. Selanjutnya pada usia 6-12 dapat diberikan Makanan-Pendamping ASI (MP ASI) dan saat bayi berusia 1 tahun dapat dikenalkan dengan makanan keluarga. Untuk memenuhi kebutuhan gizi dalam masa ini, asupan asam lemak essensial (DHA&ARA) dibutuhkan yang berperan dalam pembentukan gizi serta tinggi badan normal. Salah satu makanan yang dapat yang dapat diberikan ialah daging dan ikan laut.






Daftar Rujukan:

[1]         FKUI, “Pentingnya Nutrisi 1000 Hari Pertama Anak untuk Mencegah Stunting,” Info Sehat FKUI, 2020. https://fk.ui.ac.id/infosehat/pentingnya-nutrisi-1000-hari-pertama-anak-untuk-mencegah-stunting/ (accessed May 22, 2022).

[2]         L. H. Dekker, M. Mora-Plazas, C. Marín, A. Baylin, and E. Villamor, “Stunting associated with poor socioeconomic and maternal nutrition status and respiratory morbidity in Colombian schoolchildren,” Food Nutr. Bull., vol. 31, no. 2, pp. 242–250, 2010, doi: 10.1177/156482651003100207.

[3]         N. K. Aryastami, “Pertumbuhan Usia Dini Menentukan Pertumbuhan Usia Pra-Pubertas,” Disertasi. Jakarta Univ. Indones., 2015.

[4]         Humas Litbangkes, Buku Saku Hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) Tahun 2021. Badan Litbangkes Kementrian Kesehatan RI, 2021.

[5]         [Permenkes], Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Standar Antropometri Anak. 2020.

[6]         D. R. Sekretariat Jenderal, “Komisi IX Nilai ‘Stunting’ di Kaltim Cukup Tinggi,” 2021. https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/35204/t/Komisi+IX+Nilai+‘Stunting’+di+Kaltim+Cukup+Tinggi.

[7]         A. Rahayu, F. Yulidasari, A. O. Putri, and L. Anggraini, Stunting dan Upaya Pencegahannya, 1st ed. Yogyakarta: CV Mine, 2018.

[8]         E. Galasso and A. Wagstaff, “Economics and Human Biology The aggregate income losses from childhood stunting and the returns to a nutrition intervention aimed at reducing stunting,” Econ. Hum. Biol., vol. 34, pp. 225–238, 2019, doi: 10.1016/j.ehb.2019.01.010.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal lebih dekat Sustainable Development Goals (SDGs)

Deforestasi Hutan Pemicu Perubahan Iklim di Kalimantan Timur